Kata pendeta itu.. "Nah.. Ambillah tukul dan paku ini". Balas si murid. "Apa yang harus aku buat dengan tukul dan paku ini?" balas murid itu..
Balas pendeta itu "Nah.. Kau tukullah paku-paku ini ke sebatang pohon tiap kali kau marah dan perlu.."
Waktu berlalu.. Jam berganti hari.. Hari berganti minggu.. Minggu berganti bulan"
Tanya pendeta pada muridnya "Apakah sudah kau habiskan paku itu pada pohon itu?
Jawab muridnya "Ya.. Sudah.. Tapi apa signifikasinya?"
Jawab pendeta itu "Anggaplah paku itu sebagai amarah, tukul itu sebagai hasutan, dan pohon itu sebagai insan lain yang dimarahi kamu.."
Tanya muridnya. "Maka?"
Balas pendeta itu.. "Kini.. Cuba kau cabut kesemua paku-paku itu.."
Lantas si murid tanpa melengahkan masa mencabut paku-paku itu..Pelbagai cara dilakukan.. Diumpil, Ditarik.. Segalanya berhasil dan paku-paku itu diserahkan kembali kepada pendeta itu..
"Nah"..
Balas pendeta itu.. "Terima kasih.. Lihat.. Walau paku-paku itu telah tiada pada batang pohon itu.. Namun apa yang tertinggal? Luka-luka yang setiap padanya mengalir getah dan batang pohonnya tidak serupa seperti dulu.. Begitulah amarahmu kepada mereka disampingmu.. Walau kemaafan dipohon dan dimaafi.. Namun kesannya akan tetap tertinggal pada mereka... Maka fikirkanlah amarahmu sebelum kau menghunuskan kata-kata yang mampu melukakan hati mereka.."